(Klik Judul atau Foto di atas untuk Baca Artikel secara Lengkap……)
KONVENSI – INDONESIA (Suku Adat – Raja – Republik)
Konvensi adalah hukum tidak tertulis. Contoh : Legenda pemimpin Indonesia (notonegoro), Suku-adat (suku Badui-suku Kajang-suku Dayak-suku Aceh-suku Papua), dan lain-lain. Konvensi adalah Induk atau akar Undang-Undang Dasar (UUD) suatu negara. Dengan demikian status konvensi lebih tinggi derajatnya dari pada UUD 1945. Diibaratkan UUD 1945 adalah sebuah pohon sedangkan konvensi adalah akar pohon. Bisa dibayangkan jika sebuah pohon tanpa akar. Itulah keadaan UUD 1945. Pohon lupa akarnya.
Sebelum Indonesia berbentuk negara kesatuan (Republik), Indonesia dahulu kala berstatus nusantara (antar pulau-pulau) dengan suku adat setiap pulau. Dengan berjalannya waktu terjadi perubahan peradaban menjadi kerajaan-kerajaan karena kerajaan berdiri atas konvensi suku adat atau karena kerajaan berdiri di nusantara atas restu 5 suku adat. Kenapa suku adat harus memberi restu? Karena suku-suku adat itulah yang pertama menempati pulau besar Indonesia (Kalimantan-Sulawesi-Jawa-Sumatera-Papua). Kerajaan kemudian lebur setelah ratusan tahun berdiri oleh penjajah (Belanda) sehingga berubah menjadi negara kesatuan Republik Indonesia. Begitu juga halnya berdirinya negara Republik Indonesia (RI) atas restu suku adat tadi melalui Presiden Pertama RI.
SETELAH RI BERDIRI
Undang-Undang Dasar (UUD) negara leluhur bersumber dari konvensi. UUD 1945 di dalamnya sama-sekali tidak ditemukan akar konvensi; lebih mirip UUD Belanda. Oleh karena itu jika terjadi penyelewengan atas pelaksanaan UUD 1945, maka Suku Adat tidak harus berpedoman pada UUD 1945 dalam bertindak tegas dan adil semisal demi keselamatan negara misalnya dalam bentuk ancaman politik, dapat mengambil kembali haknya sebagai delegator, dilain pihak Suku Adat adalah delegator dalam konvensi Adat Leluhur, jika terjadi penyimpangan dalam mekanisme delegator-delegate (Suku adat-Raja/Pemerintah/Presiden) dalam hukum konvensi maka Suku Adat dapat mengambil wewenangnya kembali (sebagai delegator) dalam konvensi melalui Majelis/MPR contoh Suku Adat dapat mengambil inisiatif yakni mengambil alih kekuasaan tanpa berpedoman pada UUD 1945 meskipun seandainya UUD 1945 tersebut terkandung unsur konvensi, apalagi UUD 1945 diketahui tidak berimplikasi konvensi.
SEBELUM BERDIRINYA RI
Peristiwa pemberian wewenang kepada calon raja/calon pemerintah/calon presiden berlangsung tanpa saksi dan tanpa sepucuk surat, hanya dengan kata-kata “silahkan laksanakan pemerintahan baik kerajaan atau bukan kerajaan dengan jujur dan adil” itulah peristiwa konvensi adat istiadat, yang dikenal dengan “Restu Adat”. Khusus untuk 5 Suku Adat di atas.
Suku Adat adalah Unsur Konvensi Pertama (delegator) sedangkan Calon Raja (Raja)/Calon Presiden (Presiden) adalah Unsur Konvensi Kedua (delegasi).
Suku Adat karena keterbatasannya dalam pengetahuan dan teknologi tidak dapat menjalankan manajemen pemerintahan sehingga makna dalam konvensi sebagai mendelegasikan atau mempercayakan haknya sebagai pemilik negara untuk dijalankan oleh pihak lain (Delegator). Karena Raja/presiden statusnya dalam konvensi sebagai menjalankan amanat (Delegasi), maka jika menyalahi atau melanggar “makna konvensi” maka dapat saja diberhentikan pada masa pemerintahan raja/presiden melalui mekanisme musyawarah adat baik secara keseluruhan (Adat Kajang-Adat Badui-Adat Dayak-Adat Aceh-dan Adat Papua), maupun secara sebagian (Adat Kajang-Adat Badui-Adat Dayak), atau sebagian kecil (Adat Kajang saja). Karena jumlah sebagian atau sebagian kecil Suku Adat adalah mewakili suku Adat lainnya dan dianggap sah dalam aturan Suku Adat untuk melakukan tindakan Hukum Konvensi di atas.
Keterangan diatas adalah makna hukum tidak tertulis (konvensi) khusunya konvensi mengenai 5 Suku Adat di Indonesia.
HUBUNGAN NOTONEGORO DAN SUKU ADAT DALAM KONVENSI
Notonegoro dan Suku Adat adalah Dua Unsur Konvensi di Indonesia yang mempunyai kewajiban luhur untuk tegaknya keadilan Demokrasi di Indonesia. Hal ini didukung oleh Pasal 2 dan Pasal 3 UUD 1945 yang terdapat dalam penjelasannya ” Bahwa Majelis/MPR mendukung dan memperhatikan aliran-aliran Zaman sebagai bagian dari unsur masyarakat Indonesia.
RESTU ADAT PERTAMA
Dapat kita lihat melalui Restu Adat Badui pada tahun 1945 yang tidak pernah diliput oleh media massa manapun pada saat itu dan tetap menjadi misteri dan bahkan menjadi rahasia umum bagi rakyat yang mencintai negerinya sebagai negeri leluhur. Pada tahun 1945 menjelang berdirinya Indonesia Notonegoro Pertama (Soekarno) mendapat Restu oleh Suku Adat Badui setelah meminta Restu Adat pada Adat Badui baik Badui Dalam maupun pada Badui luar dan ditempat inilah pertama kali Proklamasi itu di rancang (di Badui luar) yakni di rumah mantan suami pertama Megawati Soekarnoputri yang bernama : Sudirman Kharis untuk dikumandangkan, sementara di Rengasdengklok hanya disembunyikan dari incaran tentara Jepang (bukan diculik) karena daerah Karawang-Bekasi lebih dekat lokasinya dari Jakarta di banding di Ciseumet, Rangkas Bitung (Daerah Suku Adat Badui). Karena perjalanan dari Ciseumet ke Jakarta harus melalui sungai Karawang-Bekasi menggunakan perahu maka tentu pemuda yang berada di Rengasdengklok (Karawang) bertanggung jawab untuk mengamankan calon Proklamator dan rombongan yang sudah mendapat Restu Adat Badui tadi.
“Aku Titipkan Negeri Ini Padamu” adalah pesan Adat Badui (mewakili 4 Suku Adat Lainnya) pada Notonegoro pertama (sumber: Panglima Badui Dalam)
AKU
AKU : Singkatan dari Adat Badui dan Adat Kajang
Menitip negara ini ke Pemerintah baik kepada Raja maupun kepada Presiden yang diberi Restu Adat agar negara ini tetap bersatu dalam satu negara, Indonesia.
Apa hendak dikata perjalanan panjang negeri leluhur Indonesia melalui Notonegoro, dari Notonegoro pertama sampai Notonegoro terakhir menjalani masa-masa suram yang bertentangan dengan konvensi yakni sejak Notonegoro pertama karena ternyata Notonegoro pertama beraliran Komunis, Notonegoro kedua beraliran kapitalis dan (Cina), Notonegoro ke empat beraliran Komunis dan sekaligus Cina.
RESTU ADAT TERAKHIR
Kecuali Notonegoro terakhir (Notonegoro ke 5 & 6 atau Sudirman & 3 Roh) karena masa Notonegoro ke 5 & 6 adalah tegaknya Demokrasi yakni terbebasnya suku pribumi dari cengkraman Komunis dan Cina. Maka pada saat inilah tahun (2023/2024) Suku Adat harus mengambil kembali wewenang atau Restu Adat dari tangan Pihak yang bukan Notonegoro ke 4 lagi yaitu Jokowi yang berkuasa, untuk diserahkan kepada Notonegoro terakhir (Notonegoro 5 & 6), karena sudah masuk masa waktunya untuk melaksanakan tugasnya. Mengapa baru diambil pada saat atau masa waktu Notonegoro terakhir? Karena sesudah Notonegoro terakhir tidak ada lagi penyimpangan di bumi pertiwi, dan tenteram dan damailah seluruh suku-suku pribumi di Indonesia untuk selama-lamanya (Lihat Buku Jayabaya Bait Terakhir (Bait 173).
Bait lainnya yang terdapat pada masa waktu Notonegoro ke 5 & 6 dengan hubungannya (korelasinya) dengan Suku Adat Khususnya Suku Adat Badui, Suku Adat Kajang, dan Suku Adat Dayak, yakni terdapat pada Bait 161, Bait 164, Bait 171, dan Bait 166.
Bait 164 adalah bait yang berisi tentang Restu Adat Kajang yang diberikan kepada Notonegoro terakhir untuk menjalankan kekuasaan Pemerintahan Indonesia di bawah Majelis/MPR
Mengapa hanya Adat Badui dan Adat Kajang yang memberi restu? Karena sesuai letak geografis pulau dan sesuai bait 164. Suku Adat Dayak di utara, Suku Adat Aceh di utara barat serta Suku Adat Papua di ujung timur adalah pendukung Restu Adat.
HAK EKSEKUSI KONVENSI (Hak Eksekusi Hukum Tidak Tertulis)
Secara Konseptual, Suku Adat memahami atau mengerti bahwa dirinya memiliki Hak Eksekusi, tetapi dilain pihak secara Tekstual dia tidak dapat menuliskan Haknya itu untuk dibaca oleh pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak lain sehingga memerlukan mediator yang memediasi.
Sebaliknya Notonegoro ke 5 & 6 (Notonegoro Terakhir) memahami dan mengerti bahwa dirinya memiliki Hak Eksekusi sebagai akibat dari adanya tekanan masa waktu yang harus dilewati untuk menyelesaikan suatu tugas dalam rangka menata negara atau Natanegara (Notonegoro) yang tertera dalam buku Jayabaya sebagai pedomannya para Notonegoro baik yang telah lalu maupun yang masih ada saat ini, demi terciptanya dan tegaknya negara demokrasi yang adil, tetapi dilain pihak Notonegoro ke 5 & 6 memerlukan mediator yang akan memediasi.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa :
- Suku Adat memerlukan mediator yakni Notonegoro ke 5 & 6 untuk mengeksekusi Haknya sebagai delegator. Sebaliknya,
- Notonegoro ke 5 & 6 memerlukan Suku Adat sebagai mediator untuk mengeksekusi Haknya (mengambil masa waktunya); bukan mengambil jabatan presiden dari orang lain.
- Dengan demikian Notonegoro ke 5 & 6 dan Suku Adat terjadi saling memediasi atau menjadi mediator satu sama lain dalam kurun waktu yang bersamaan untuk melaksanakan Hak eksekusinya masing-masing demi tegaknya dan tetap utuhnya negara Demokrasi Indonesia yang adil, namun demikian kami Notonegoro ke 5 & 6 serta Suku Adat memerlukan dukungan banyak pihak baik berupa materil maupun spiritual khususnya oleh para pihak yang mendukung tetap utuh dan berdirinya ideologi “Demokrasi Asli” dan tetap tegaknya “Keadilan Yang Maha Kuasa” di bumi Pertiwi Indonesia, Insya Allah-Alhamdulillah.
PELAKSANAAN HAK EKSEKUSI KONVENSI DIBAWAH MAJELIS/MPR
Indonesia adalah negara leluhur bukan negara yang dibeli dari bangsa lain. Leluhur bangsa Indonesia adalah bertitik tolak dari Adat Suku (Suku Adat). Kerajaan nusantara baik besar maupun kecil, terbentuk dan berdiri berdasarkan restu (ijin) dari Suku Adat. 5 Suku Adat Indonesia adalah Suku Pribumi Pertama yang mendiami 5 pulau besar Indonesia sehingga disebut pemilik negara. Proses atau mekanismen pemerintahan dijalankan oleh kerajaan (pada masa nusantara berbentuk kerajaan), dijalankan oleh pemerintah republik (pada masa berbentuk republik), Suku Adat sebagai delegator karena mendelegasikan wewenangya kepada raja/pemerintah, sedangkan raja/pemerintah sebagai delegate karena menerima wewenang dari Suku Adat untuk dijalankan.
Perlu digaris bawahi bahwa pemberian wewenang atau pendelegasian wewenang ke pada pihak raja/penguasa itu tidak bersifat permanen atau tidak tetap selamanya, akan tetapi bersifat sementara. Karena sementara maka suatu waktu wewenang atau hak kekuasaan yang didelegasikan ke raja/penguasa tadi dapat ditarik atau diambil kembali oleh pemberi wewenang (delegator) dari raja/penguasa (delegate). Makna mengambil kembali hak wewenang bukan berarti Suku Adat akan menjalankan pemerintahan sendiri melainkan memindahkan atau menyerahkan atau mengalihkan kepihak lain sesuai dengan konvensi Indonesia.
Mengapa Suku Adat tidak memerintah baik sebagai raja maupun sebagai penguasa? Karena Suku Adat tidak pernah meninggalkan ciri khas Adatnya meski negara mencapai tingkat peradaban modern apapun Indonesia. Karakter ciri khas Adat tersebut bagi Suku Adat adalah suatu “kekuatan tersendiri” (self strange) yang dimiliki oleh Suku-Suku Adat. Dilain pihak, sebagai akibat adanya mekanisme delegator-delegate, maka bisa dikatakan bahwa Suku Adat secara tidak langsung yang memimpin Kerajaan/Republik.
Suku Adat, sejak mendelegasikan wewenangnya atau haknya, sejak didirikannya kerajaan-kerajaan di Nusantara, hingga berdirinya sebuah negara Republik Indonesia, 18-08-1945 sampai negara Indonesia mencapai titik paling kritis (Ancaman Kehancuran Multi Dimensi) saat ini (2023) yaitu masa Notonegoro ke 5 & 6 yakni masa waktu Sudirman & Roh (Notonegoro terakhir) dimana masa Notonegoro terakhir ini masih dipegang oleh Notonegoro ke 4 dan koleganya, para Suku Adat tidak pernah diajak bicara mengenai negara dari sejak berdirinya hingga mencapai titik ambang kehancuran negara yang dijalankan oleh delegate. Peristiwa ini merupakan penyelewengan komitmen dalam konvensi yang berimplikasi dosa besar penguasa sebagai penerima atau pemegang wewenang (delegasi) terhadap Suku-Suku Adat sebagai pemberi wewenang atau hak kekuasaan untuk berkuasa di negara jamrud khatulistiwa.
Maka pada saat inilah (masa/waktu) Notonegoro terakhir dimana Suku Adat baik secara bersama-sama maupun dengan secara sebagian atau sebagian kecil akan menarik wewenangnya kembali dari tangan penguasa (delegasi) untuk diserahkan ke Notonegoro terakhir akibat penyimpangan (tidak komitmen) menjalankan negara yang diamanatkan kepadanya. Ini adalah isi makna konvensi Indonesia yang saat ini berada diujung tanduk (ambang kehancuran multi dimensi) karena salah urus. Bersama Majelis/MPR, masing-masing notonegoro terakhir (5 & 6) dan Suku Adat mengambil masa waktunya dan wewenangngya
Pada saat yang sama pulahlah negara akan selamat pasca pengalihan kekuasaan oleh Suku Adat ke masa/waktu Notonegoro terakhir (Sudirman & Roh) untuk menjalankan masa/waktunya demi menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran dan demi tegaknya negara demokrasi yang adil dan beradab.
Pelaksanaan eksekusi semacam ini pernah terjadi di Jepang oleh Kaisar Jepang terhadap Perdana Menteri Jepang, ketika hirosima dan nagasaki dijatuhi bom atom oleh tentara Amerika Serikat.
Negara lain yang bertitik tolak pada leluhur
- Indonesia sendiri bertitik tolak pada 5 suku adat sebagai negeri leluhur
- Jepang bertitik tolak pada kaisar sebagai negeri leluhur
- Inggris bertitik tolak pada ratu sebagai negeri leluhur
- Thailand bertitik tolak pada raja sebagai negeri leluhur
Negara-negara yang disebutkan diatas mempunyai sejarah yang terkenal yakni kebal terhadap pengaruh penjajahan dengan kata lain tidak dapat ditembus oleh penjajah seperti Thailand misalnya karena pengaruh leluhur atau Raja (Majelis/MPR kalau di Indonesia) sangat kuat untuk menghalau musuh atau penjajahan dari bangsa lain. Raja memiliki kharisma yang sangat kuat, karena saking kuatnya bahkan bukan hanya kuat bertahan terhadap serangan penjajah bahkan lebih dari itu ia ingin menguasai bangsa lain contoh misalnya negeri Jepang yang pada masa perang dunia ke dua ingin menguasai Asia dan Pasifik.
Mengapa Indonesia justru menjadi negara yang lemah padahal ia adalah negeri leluhur? Sudah dapat dipastikan bahwa indonesia menjadi lemah karena melupakan leluhurnya yaitu 5 suku adat sebagai titik tolak dan titik kekuatan negara.
Klik tanda panah (Play) di bawah ini untuk mendengarkan lagu dari Raja :
“Giwang Barlian” /Raja